Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Pengaruh Sosiologi

Pembahasan mengenai peranan keluarga di dalam lingkungan sosial dan dilakukan dengan mempergunakan sosiologi dan ilmu hukum sebagai sarana pendekatan. Artinya untuk menjelaskan masalah itu akan dipergunakan konsep-konsep dasar yang lazim dipergunakan dalam sosiologi dan ilmu hukum.
Pendekatan secara sosiologi bertitik tolak pada pandangan bahwa manusia pribadi senantiasa mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan sesamanya. Oleh karena itu pendekatan sosiologi bertitik tolak pada proses interaksi sosial yang merupakan hubungan saling pengaruh mempengaruhi antara pribadi-pribadi, kelompok-kelompok maupun pribadi dengan kelompok.
Dari kehidupan berinteraksi ini muncul kehidupan berkelompok antara orang-orang yang mempunyai kepentingan yang sama. kelompok hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa. Kebudayaan menimbulkan lembaga-lembaga sosial yang merupakan kesatuan kaidah-kaidah dari segala tingkatan yang berkisar pada satu atau beberapa kebutuhan pokok.
Selanjutnya akan timbul lapisan-lapisan dalam masyarakat yang merupakan pencerminan adanya perbedaan kedudukan dan peranan. Gejala itu menjadi landasan tumbuhnya kekuatan dan wewenang.
Seperti lembaga sosial lain, pranata keluarga adalah suatu sistem norma dan tata cara yang diterima untuk menyelesaikan sejumlah tugas penting. Beberapa pranata sosial dasar yang berhubungan dengan keluarga inti (nuclear family) adalah sebagai berikut:
1. Pranata Kencan (Dating)
2. Pranata pemenangan (courtship)
3. Pranata Pertunangan (mate – selection)
4. Pranatan Perkawinan (Marriage)
C. Fungsi Keluarga
1. Fungsi reproduksi
Salah satu tujuan sepasang suami – isteri untuk membangun sebuah keluarga ialah untuk memperoleh keturunan. Mereka ingin agar insan lain yang melanjutkan generasinya. Ada yang cemas apabila dalam perkawinan ternyata mereka tidak mendapatkan anak. Ada yang kecewa apabila anak mereka cacat. Ada yang bangga karena mereka mempunyai anak seperti yang mereka harapkan. Meskipun ada pengecualian di sana-sini, bagaimanapun anak tetap merupakan buah cinta kasih berdua. Anak adalah dambaan pasangan yang baru saja menapaki jenjang pernikahan.
2. Fungsi sosialisasi
Sosialisasi adalah suatu proses di mana seseorang mengalami secara perlahan-lahan kehidupan bersama orang lain. Di dalam keluarga, anak diajak dan diberitahu bagaimana harus hidup bersama dengan orang lain, diajak dan diberitahu bagaimana anak harus hadir dalam kehidupan yang luas di kalangan masyarakat. Dalam keluarga, kita diajari bagaimana menyapa orang lain dengan sebutan ibu guru, bapak guru, dan lain-lain.
Dari keluargalah kita belajar mengenal ada sopan santun yang harus dipakai di tengah-tengah kehidupan bersama. Dengan demikian, anak yang lahir dari sebuah keluarga mengetahui bagaimana berinteraksi dengan orang lain. Dalam interaksi, anak diajak mempelajari status dan peranan masing-masing anggota. Ayah, ibu, kakak dan adik, dan mereka mempunyai peranan yang berbeda. Dengan demikian, secara perlahan-lahan anak ditatapkan pada kehidupan nyata yang ada di masyarakat yang kompleks dengan status dan peranan.
3. Fungsi afeksi
Setiap insan diciptakan untuk hidup bersama orang lain. Ia tidak akan mampu hidup sendiri. Manusia senantiasa membutuhkan rasa kasih sayang atau rasa cinta (afeksi). Di dalam keluargalah untuk pertama kalinya seorang anak mendapatkan rasa dicintai. Ia merasa memiliki seorang ibu yang sayang kepadanya dengan penuh perhatian memberi apa yang dimintanya, dengan ketulusan memberikan apa yang terbaik buat anaknya.
4. Fungsi penentu kedudukan atau status
Setiap orang memiliki status atau kedudukannya sendiri di dalam masyarakat. Bagi orang yang berpendapat bahwa status itu bisa didapatkan karena keturunan (ascribed status) kedudukan itu diwariskan secara turun temurun. Seorang anak yang lahir dari kalangan bangsawan dengan sendirinya ia akan mempunyai status bangsawan. Tetapi tidak mengurangi kemungkinan bahkan dalam kehidupan kolonial sekalipun adanya status yang diperolehnya menurut kemampuan dan prestasi pribadi. Status seperti ini tidak dapat diwariskan.
5. Fungsi perlindungan
Fungsi ini adalah melindungi seluruh anggota dari berbagai bahaya yang dialami oleh suatu keluarga. Perlindungan yang diberikan tidak hanya perlindungan fisik saja, melainkan juga secara psikis. Tidak hanya dari panas dan hujan tetapi dari suasana.
6. Fungsi ekonomi
Keluarga merupakan satu kesatuan yang bekerjasama untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup keluarga tersebut. Bagi umumnya keluarga, ayah merupakan kepala rumah tangga yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan material, walaupun anggota keluarga lain (ibu dan anak-anak yang sudah dewasa) juga bekerja.
      D. Masalah Sosial dalam Keluarga
1. Masalah broken home

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Makalah Penyalahgunaan Bahan Berbahaya pada makanan


BAB I PENDAHULUAN

Di Indonesia saat ini banyak terjadi permasalahan konsumen pada bidang pangan khususnya, diantaranya adalah yang paling mengkhawatirkan masyarakat adalah kasus – kasus tentang masalah penyalahguaan bahan berbahaya pada produk pangan ataupun bahan yang diperbolehkan tetapi melebihi batas yang telah ditentukan. Contoh dari kasus tentang penyalahguaan bahan berbahaya pada produk pangan yang telah terjadi di Indonesia dan sampai kepengadilan yaitu terjadi pada kasus yang telah membawa akibat meninggalnya seorang manusia sebagai konsumen dikarenakan kelalaian dari produsen, adalah pada kasus biscuit beracun di Tangerang, pada kasus tersebut menibatkan CV. Gabisco sebagai Produsen.
Di dalam kasus tersebut, yang melibatkan CV. Gabisco sebagai produsen, jelas sekali dikarenakan kelalaian dari produsen. Hal tersebut didasarkan bahwa konsumen yang tidak mengetahui bahwa biscuit yang telah dikonsumsinya telah tercemar dengan bahan berbahaya bagi jiwa dan kesehatannya. Karena dari hasil pemeriksaan laboratorium dari biscuit tersebut mengandung racun yang berbahaya yaitu Anion Nitrit (NO2).

1.1 Latar Belakang Masalah

Produk pangan yang sering dikonsumsi konsumen setiap harinya, yang selama ini diandalkan sebagai sumber protein nabati namun ternyata masyarakat sebagai konsumen tidak menyadari bahwa produk pangan tersebut mengandung bahan berbahaya. Produk pangan yang dimaksud, banyak sekali terdapat pada jajanan sekolah, jajanan pasar, makanan Catering, bahakan di dalam toko – toko swalayan yang sering kali kita anggap paling bersih dalam hal penyediaan bahan makanan yang merupakan bentuk dari pasar modern pun tak luput dari ancaman bahan tambahan berbahaya.
Menurut kami sebagai penulis, hal ini sangat menarik untuk dibahas dan dikaji. Karena ada tiga hal sekurang–kurangnya yang menarik anatara lain :
Pertama, bahwa berdasarkan data dari BPOM di 5 Provinsi pada tahun 1999 – 2001 menunjukan bahwa penggunaan bahan tambahan yang berbahaya untuk kesehatan yang terdapat diproduk pangan yaitu sekitar 89,8% yang terdiri dari 35,6% penggunaan Boraks dan 41,2% penggunaan Formalin, 10,4% penggunaa pewarna Rodamin B dan 1,9 % penggunaan pewarna Amaran. Kasus lainnya adalah penggunaan bahan tambahan pangan yang diizinkan tetapi melebihi dosis yang telah diizinkan sesuai dengan peraturan menteri kesehatan No. 1168/Menkes/Per/X/1999 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan.

1.2 Batasan Masalah
Dalam makalah yang kami susun ini, kami akan membahas hal-hal diantaranya sebagai berikut:
• Undang-Undang perlindungan konsumen dalam hubunganya dengan penyalahgnaan zat-zat berbahaya dalam berbagai produk pangan.
• Jenis dari zat berbahaya yang umum digunakan dalam produk pangan
• Dampak serta kerugian yang ditimbulkan oleh zat-zat berbahaya tersebut
• Sanksi yang diberikan kepada para oknum yang terlibat dalam penyalahgunaan penggunaan zat berbahaya dalam produk pangan.

1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah mengenai Undang-undang Perlindungan Konsumen dalam hubungannya dengan penyalahgunaan zat-zat berbahaya dalam berbagai produk pangan adalah :
• Untuk memenuhi tugas penyusunan makalah sebagai tugas Pengantar Ilmu Hukum (PIH)
• Menimbulkan daya fikir yang kritis bagi para mahasiswa terhadap maraknya kasus penyalahgunaan zat-zat berbahaya dalam produk pangan
• Meneliti secara lebih jauh mengenai dasar hukum dan landasan dilarangnya penggunaan zat-zat berbahaya dalam berbagai produk pangan

1.4.Metode Pengumpulan Data

Dalam penyusunan makalah ini, perlu sekali pengumpulan data serta sejumlah informasi aktual yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. Sehubungan dengan masalah tersebut dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data, yang pertama dengan membaca buku sumber, kedua browsing di Internet, ketiga dengan membaca media cetak dan terakhir dengan pengetahuan yang penulis miliki.
1.5. Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun dengan urutan sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan
Pada bagian ini dijelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penulisan, metode pengumpulan data, dan sistematika penulisan.

Bab II Pembahasan Pada bab ini ditemukan pembahasan yang terdiri dari pengertian pangan,pengertian zat berbahaya,macam-macam zat berbahaya,kasus penyalahgunaan zat berbahaya,landasan hukum yang berlaku di Indonesia tentanf perlindungan konsumen dalam penyalagunaan zat berbahaya dalam produk pangan,hukuman bagi para oknum penyalahgunaan zat berbahaya.

Bab III Penutup
Bab terakhir ini memuat kesimpulan dan saran.
Daftar Pustaka
Pada bagian ini berisi referensi-referensi dari berbagai media yang penulis
gunakan untuk pembuatan makalah ini.






BAB II PEMBAHASAN

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mengumumkan hasil kajian dan analisis mengenai kebijakan pemerintah di bidang pangan yang terkait dengan perlindungan konsumen. Kajian BPKN ini bekerjasama dengan Seafast Center IPB, tujuan kajian tersebut antara lain mempelajari penanganan kasus-kasus pangan yang kemudian ditindak lanjuti dengan penyampaian rekomendasi BPKN kepada Pemerintah tentang kebijakan perlindungan konsumen di bidang pangan.
Kajian dilakukan sebagai pelaksanaan tugas BPKN berdasarkan amanat UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen dikaitkan dengan hak konsumen mendapatkan kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; hak mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; serta hak mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

2.1.Pangan
2.1.1 Definisi dari Pangan
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang juga merupakan komoditas perdagangan, memerlukan dukungan sistem perdagangan pangan yang etis, jujur, & bertanggung jawab sehingga terjangkau oleh masyarakat. Pangan dalam bentuk makanan & minuman adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang diperlukan untuk hidup, tumbuh, berkembang biak, & reproduksi.
Dalam pasal 1 UU no.7/1996, disebutkan bahwa “Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati & air, baik yang diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, & bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, & atau pembuatan makanan atau minuman”.

2.2 Zat Berbahaya (Zat Adiktif)
2.2.1 Definisi dari zat berbahaya
Zat berbahaya umum juga disebut dengan zat adiktif, yaitu obat serta bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi oleh organism hidup dapat menyebabkan kerja biologi terhambat. Dalam hal ini, penggunaan zat tambahan dalam produk pangan pun menimbulkan beberapa dampak yang mengganggu system kerja organ tubuh dalam proses metabolisme sehingga zat tambahan tersebut termasuk adiktif.

2.2.2 Macam-Macam Zat Berbahaya serta Dampaknya
Pengertian dan dampak yang ditimbulkan dari zat – zat yang membahayakan, yang kebayakan dipakai sebagai bahan tambahan produk pangan tersebut yaitu :
1. Formalin
Formalin adalah larutan 37% Formaldehida dalam air yang biasanya mengandung 10 – 15% methanol untuk mencegah polimerisasi. Formalin banyak digunaan sebagai desinfektan untuk pembersih lantai, kapal, gudang, dan pakaian, sebagai germisida dan fungisida pada tanaman dan Sayuran , serta sebagai pembasmi lalat dan serangga lainnya.
Menurut BPOM penggunaan formalin pada produk pangan sangat membahayakan kesehatan karena dapat menyebabkan efek jangka pendek dan panjang tergantung dari besarnya paparan pada tubuh. Dampak formalin pada tubuh manusia dapat bersifat :
Akut : Efek pada kesehatan manusia langsung terlihat : Seperti iritasi, alergi, kemerahan, mata berair, mual, muntah, rasa terbakar, sakit perut dan pusing.
Kronik : Efek pada kesehatan manusia terlihat setelah terkena dalam jangka waktu yang lama dan berulang : Seperti iritasi parah, mata berair, gangguan pada pencernaan, hati, ginjal, pancreas, system saraf pusat, dan pada hewan percobaan dapat menyebabkan kanker sedangkan pada manusia diduga bersifat karsinogen. Megkonsumsi bahan makanan yang mengandung formalin, efek sampingnya terlihat dalam waktu jangka panjang, karena terjadi akumulasi formalin dalam tubuh.
Formalin sangat mudah diserap oleh tubuh melalui saluran pernafasan dan pencernaan. Penggunaan formalin dalam jangka panjang dapat berakibat buruk pada organ tubuh. Karena beracun, pada kemasan formalin diberi label yang bertuliskan “Jangan menggunakan formalin untuk mengawetkan pangan seperti mie dan tahu”.



2. Boraks
Boraks adalah senyawa berbentuk Kristal putih, tidak berbau dan stabil pada suhu dan tekana normal. Dalam air borak berubah menjadi Natrium Hidroksida dan Asam Borat. Boraks umumnya digunakan untuk memantri logam, pembuatan gelas dan enamel, sebagai pengawet kayu, dan pembasmi kecoa.
Asam Borat maupun Boraks adalah racun bagi sel – sel tubuh, berbahaya bagi susunan syaraf pusat, ginjal dan hati. Jangan mengunakan Boraks dalam pembuatan bakso, kerupuk, mie dan sejenisnya.
3. Rhodamin – B
Rhodamin – B adalah zat pewarna sintetis berbentuk serbuk Kristal, berwarna hijau atau ungu kemerahan, tidak berbau, dan dalam larutan berwarna merah terang berflourenses. Rhodamin – B ummnya digunakan sebagai pewarna kertas dan tekstil. Percobaan pada binatang menunjukan bahwa zat ini diseap lebih banyak pada saluran pencernaan.
Kerusakan pada hati tikus terjadi sebagai akibat pakannya mengandung Rhodamin – B dalam konsentrasi yang tinggi. Mengkonsumsi zat ini dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan gangguan pada fungsi hati dan bias menngakibatkan kanker hati. Jangan mewarnai pangan dengan Rhodamin – B.

4. Metanil Yellow
Metanil Yellow adalah zat pewarna sintesis berbentuk serbuk bewarna kuning kecoklatan, larut dalam air, agak larut dalam benzene, eter, dan sedikit larut dalam aseton. Metanil Yelow umumnya dugunakan sebagai pewarna tekstil dan cat serta sebagai indicator reaksi netralisasi asam – basa.
Zat ini adalah senyawa kimia dari Azo Aromatik yang dapat menimbulkan tomur dalam berbagai jaringan hati, kandung lemih, saluran pencernaan atau jaingan kulit. Jangan mewarnai pangan dengan Metanil Yellow.
Dari berbagai jenis bahan – bahan yang telah disebutkan diatas dan dinyatakan sangat berbahaya bagi tubuh dan kesehatan manusia dalan jangka pendek maupun jangka panjang, mulai dari produksi, eksport – import, pendistribusian barang, maupun penjualan dan pemasarannya haruslah dilakukan pengawasan yang ketat sehingga tidak ada lagi pelaku usaha yang menggunakan bahan berbahaya tersebut sebagai bahan tambahan makanan pada produk – produk pangan yang beredar dimasyarakat.
2.3 Kasus Penyalahgunaan Zat Berbahaya bagi Produk Pangan di Indonesia
Sebagian besar kasus keracunan makanan berasal dari jasa boga (katering). Data nasional yang dirangkum BPOM selama 4 tahun terakhir juga menjelaskan, bahwa industri jasa boga dan produk makanan rumah tangga memberikan kontribusi yang paling besar (31%) dibandingkan dengan pangan olahan (20%); jajanan (13%) dan lain-lain (5%).
Data dari Badan POM tentang kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan dari tahun 2001-2006 menunjukkan peningkatan baik dari jumlah kejadian maupun jumlah korban yang sakit dan meninggal. Walaupun demikian, korban meninggal ditengarai mungkin hanya 1 % saja sesuai dengan perkiraan WHO.
Sepanjang tahun 2006 (per-tanggal 23 Agustus 2006) dilaporkan jumlah KLB mencapai 62 kasus dengan 11.745 orang yang mengkonsumsi makanan dan 4.235 orang jatuh sakit serta 10 meninggal. Tahun 2005 terjadi 184 KLB, 23.864 orang yang mengkonsumsi makanan, 8.949 orang jatuh sakit serta 49 orang meninggal.
Berdasarkan penyebab terjadi KLB (per-23 Agustus 2006) 37 kasus tidak jelas asalnya, 11 kasus disebabkan mikroba dan 8 kasus tidak ada sample. Pada tahun 2005 KLB yang tidak jelas asalnya (berasal dari umum) sebanyak 95 kasus, tidak ada sample 45 kasus dan akibat mikroba 30 kasus.
Hasil kajian dan analisa BPKN juga masih menemukan adanya penggunaan bahan terlarang dalam produk makanan sebagai berikut :
1. Ditemukan penggunaan bahan-bahan terlarang seperti bahan pengawet, pewarna, pemanis dan lainnya yang bukan untuk pangan (seperti rhodamin B dan methanil yellow). Ada dua kategori bahan pengawet yang biasa dipakai pelaku usaha, pertama bahan pengawet yang tidak boleh dipergunakan sama sekali dan kedua, bahan yang boleh digunakan tapi sudah berada di atas ambang batas yang telah ditentukan.
2. Penyalahgunaan bahan kimia berbahaya lainnya juga ditemui pada produk pangan, terutama penggunaan formalin, dan boraks. Pemakaian formalin terutama ditemui pada produk pangan berasam rendah seperti mie basah, tahu, ikan asin dan ikan segar.
3. Penyalahgunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang melebihi dosis yang diizinkan antara lain ditemui pada penggunaan pemanis buatan (sakarin dan siklamat).
Mengenai penggunaan BTP sendiri sampai saat ini belum ada angka yang pasti. Data Badan POM di 5 provinsi pada tahun 1999-2001 menunjukkan bahwa sekitar 89,8% produk pangan mengandung BTP yang terdiri dari 35,6% produk pangan mengandung boraks, 41,2% mengandung formalin, 10,4% mengandung pewarna Rodhamin B dan 1,9% mengandung pewarna Amaran.
2.4 Landasan Hukum yang Berlaku di Indonesia Seputar Perlindungan Konsumen dalam Penyalahgunaan Zat Berbahaya dalam Produk Pangan
Undang-Undang mengenai Perlindungan konsumen diatur dalam Undang – Undang R.I nomor 8 tahun 1999 Tentang perlindungan konsumen. Diantaranya :

• Bab II : Asas dan tujuan
Pasal 3 bagian D : menciptakan system perlindunagn konsumen yang mengandung unsure kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi .
• Bab III : Hak dan Kewajiban
Pasal 4 hak konsumen : bagian A : hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa.
Bagian D : Hak untuk didengar penadapt atau keluhannya atas barang atau jasa yang digunakan .
Bagian F : Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

• Bab VI : Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
1 . Pasal 8 : bagian B: Tidak sesuai dengan berat bersih , isi bersih atau netto dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut .
2 . pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak , cacat atau bekas dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang dimaksud.

• Bab VI : Tanggung jawab pelaku usaha
Pasal 19 : bagian 1 : pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan , pencemaran, dan / atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan / atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan
Bagian 2 : Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan / atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan / atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku
Bagian 4 : pemberian ganti rugi sebagaiman dimaksud pada ayat ( 1) dab ayat (2) tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsure kesalahan.

• Bab VII : Pembinaan dan pengawasan
Pasal 29 : bagian 1 : pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penylengraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiaban konsumen dan pelaku usaha.
Bagian 2 : Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) dilaksanakan oleh mentri dan / atau mentri teknis terkait.


2.5 Hukuman Bagi Para Oknum Penyalahgunaan Zat Berbahaya dalam Produk Pangan di Indonesia
Hukuman bagi pelaku usahapun masih terlalu ringan, misalnya yang terbukti bersalah hanya divonis penjara 3-6 bulan sedangkan dendanya hanya Rp. 200.000, Dasar hukum yang dipakai oleh hakim dan jaksa hanya KUHP atau peraturan daerah. Sedangkan dalam UU Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 pelanggan terhadap kesehatan konsumen dapat dikenakan hukuman maksimal 5 tahun berikut denda hingga Rp 2 milyar.





BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Dari makalah ini dapat kita simpulkan bahwa kesadaran konsumen jauh dari yang diharapkan, termasuk diantaranya keharusan membaca label sebelum menjatuhkan pilihan untuk membeli. Dalam hal ini diperlukan sosialisasi kepada masyarakat secara terus menerus. Salah satu media yang diperlukan adalah iklan layanan masyarakat yang mengajak atau mendorong konsumen untuk lebih bijak dalam menentukan pilihan, artinya konsumen harus memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang barang dan ketentuannya. Dalam kasus keracunan makananan akhir-akhir ini terkesan dianggap biasa saja dan tidak ada pemikiran atau kesadaran untuk melaporkannya ke instansi yang berwenang.
Maka dari penjelasan diatas alangkah baiknya adalah pemerintah sebagai badan yang melakukan pengawasan terhadap penyebaran dan pemasaran barang – barang yang telah beredar di masyarakat luas saat ini sering dan selalu melakukan pengawasan – pengawasan terhadap para pelaku usaha maupun para distributor yang merupakan penyedia barang yang langsung dapat bertemu dengan konsumen ataupun pelanggan.
Itulah sebabnya essay ini dibuat karena dirasa di Indonesia saat ini para pelaku usaha dan juga produsen banyak yang melakukan pelanggaran pelanggaran yang melanggar Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Konsumen di Indonesia amat banyak sekali dirugikan mulai dari sakit ringan sampai meninggal dunia yang semuanya itu merupakan efek – efek dari makanan yang dikonsumsinya selama tenggang waktu yang sebentar ataupun cukup lama.
Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bertujuan untuk melindungi dan atau setidaknya menyetarakan antara produsen dan konsumen sebagai pengguna agara apabila terjadi dikemudian hari suatu pelanggaran terhadap hak – hak konsumen, maka produsen dapat dimintai pertanggung jawabannya di muka pengadilan.

3.2 Saran

1) Petunjuk teknis dalam rangka implementasi PP 28/2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan dan PP 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan perlu disosialisasikan secara terus menerus dan berkelanjutan. Perlu dilakukan pengkajian pada kebijakan/peraturan pangan yang dilakukan secara bersama-sama oleh instansi yang terkait dengan kebijakan pangan (Dep. Perindustrian, Dep. Perdagangan, Dep. Pertanian dan Badan POM).
2) Pemda melalui dinas-dinasnya sebagaimana ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4437) sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya perlu melakukan upaya yang terus menerus untuk memberdayakan masyarakat dengan memberikan pemahaman dan perlindungan kepada konsumen dalam hal keamanan pangan. Rendahnya kesadaran konsumen akan hak dan kewajibannya termasuk di bidang keamanan pangan yang di-akibatkan masih kurangnya upaya pendidikan konsumen oleh pemerintah.

3) Untuk mencegah keracunan pangan yang banyak ditemukan pada usaha jasa boga dan makanan jajanan, instansi yang berwenang di tingkat daerah (dinas terkait) perlu terus melakukan pembinaan serta pengawasan yang intensif. Perlu penyusunan program dan kegiatan berkaitan dengan keamanan pangan oleh dinas yang berwenang di daerah, termasuk program penyuluhan/sosialisasi kepada masyarakat dan usaha jasa boga.
4) Pemerintah baik di Pusat maupun daerah perlu selalu berkoordinasi melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap produk pangan, terutama yang diproduksi oleh usaha kecil dan menengah karena sangat rawan dari aspek keamanan pangan akibat mudah rusak dan mudah terkontaminasi mikroba yang berbahaya. Juga perlu dilakukan pengawasan yang lebih intensif secara periodik terhadap peredaran produk pangan yang sudah kadaluarsa dan menyalahi peraturan pelabelan.
5) Khusus bagi produk pangan impor perlu dilakukan pencegahan dini sejak di entry point (pelabuhan) terutama terhadap ketentuan label dan ketentuan lain yang diwajibkan antara lain mencantumkan label berbahasa Indonesia, nama dan alamat importir serta spesifikasi teknis produk dalam kemasan.
6) Para pelaku usaha baik sebagai produsen, pedagang/distributor maupun importir turut bertanggung jawab dalam penerapan ketentuan Pemerintah khususnya mengenai label pangan antara lain kewajiban pencantuman kadaluarsa serta label berbahasa Indonesia.
7) Masih kurangnya penegakan hukum yang bertujuan memberikan efek jera pada kasus-kasus pelanggaran terhadap ketentuan berlaku berkaitan dengan pangan oleh pelaku usaha.
8) Peran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang mendapat kewenangan melalui UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK); yakni turut mengawasi barang beredar di pasar bersama-sama pemerintah perlu ditingkatkan dan disosialisasikan secara terus menerus.
Sementara fungsi peran dan BPSK selaku badan yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen termasuk sengketa akibat kerugian mengkonsumsi pangan perlu diefektifkan.












Daftar Pustaka

• http://lpkjatim.blogspot.com/2009/12/hasil-kajian-bpkn-di-bidang-pangan.html
• http://www.scribd.com/doc/17633440/Pengertian-Zat-Adiktif
• http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/pengertian-pangan /
• 













  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS